Senin, 22 Oktober 2012

Nilai-nilai Pancasila Universalkah?

APAKAH PANCASILA UNIVERSAL?


Pancasila nilai-nilainya bersifat universal karena Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Sehingga Pancasila digunakan sebagai dasar negara Indonesia. Karena digunakan sebagai dasar nagara maka kedudukan pancasila sebagai ideologi atau falsafah bangsa.
Pancasila tidak bisa diterima oleh negara barat atau yang lainnya karena masing-masing negara mempunyai ideologi atau falsafah negara sendiri-sendiri. Ideologi Indonesia tidak menganut ideologi liberal, ideologi atheisme, ideologi kapitalisme atau ideologi yang lainnya melainkan ideologi Pancasila. Demikian juga negara barat ada yang menganut ideologi liberalisme tapi tidak menganut ideologi kapitalisme, ideologi atheisme, atau iedeolgi pancasila karena negara tersebut menganggap bahwa ideologi itulah yang sesuai dengan negaranya. Jadi Pancasila tidak dapat diterima oleh negara barat atau negara lain karena belum tentu nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan/dipraktekkan dinegara lain.
Ajaran  dan nilai filsafat amat mempengaruhi pikiran, budaya dan peradaban umat manusia. Semua sistem kenegaraan ditegakkan berdasarkan ajaran atau sistem filsafat yang mereka anut (sebagai dasar negara, ideologi negara). Berbagai negara modern menunjukkan keunggulan masing-masing, dan terus memperjuangkan supremasi dan dominasi sistem kenegaraannya: liberalisme-kapitalisme, marxisme-komunisme, zionisme, theokratisme; sosialisme, naziisme, fascisme, fundamentalisme. Juga termasuk negara berdasarkan (nilai ajaran) agama: negara Islam termasuk sistem ideologi Pancasila (=sistem kenegaraan Pancasila sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 45). Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 sebagai aktualisasi filsafat hidup (Weltsanschauung) yang diamanatkan oleh PPKI sebagai pendiri negara.
Dalam dinamika peradaban modern, semua bangsa berkembang dan menegakkan tatanan kehidupan nasionalnya dengan sistem kenegaraan. Sistem kenegaraan ini dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh sistem filsafat dan atau sistem ideologi; seperti : theokratisme, sistem liberalisme-kapitalisme, sosialisme, zionisme; marxisme-komunisme-atheisme, naziisme, fascisme, fundamentalisme dan sistem ideologi Pancasila!. Antar sistem ideologi modern senantiasa dalam dinamika dan kompetisi merebut supremasi ideologi yang bermuara neo-imperialisme.

Konstruktivisme Dalam Pembelajaran






Zainal Abidin
A.    Pendahuluan

Banyak aliran-aliran pembelajaran yang berkembang sejalan dengan roda sejarah. Ada yang menyejarah, ada pula yang lewat begitu saja hingga tinggal menjadi sekadar cerita sejarah. Salah satu yang banyak menjadi perbincangan, dan tentunya menyejarah, adalah konstruktivisme.
Apa sesungguhnya konstruktivisme? Bagaimana konstruktivisme berpengaruh dalam pembelajaran? Makalah ini berusaha mengupas pertanyaan-pertanyaan terebut. Pembahasannya difokuskan pada apa, mengapa, bagaimana konstruktivisme dalam pembelajaran. Tak lupa, agar bahasan ini bermanfaat dan membumi dalam konteks keindonesiaan, maka juga akan dibahas disini mengenai implementasi dan implikasinya bagi pendidikan di Indonesia.
Mengapa pembahasan mengenai konstruktivisme dalam pembelajaran ini penting? Karena perkembangan terakhir dalam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, kebanyakan bermuara pada penerapan berbagai strategi pembelajaran yang berorientasi pembelajar (Student-centered Learning Strategies), dengan ciri-ciri:
-          belajar aktif
-          belajar mandiri
-          belajar kooperatif dan kolaboratif
-          generative learning.
Dan juga berbagai model pembelajaran kognitif :
-      problem based learning
-      discovery learning
-      cognitive strategies
Semuanya ini didasarkan pada teori belajar atau aliran filsafat konstruktivisme.
Konstruktivisme saat ini semakin mempengaruhi pembelajaran tradisional, khususnya pembelajaran pada pendidikan tinggi. Sebagian pakar menganggap konstruktivisme sebagai suatu aliran filsafat pengetahuan, namun sebagian lagi menganggapnya sebagai suatu teori tentang pembelajaran. Menurut Kamus Merriam Webster, teori ialah prinsip-prinsip umum yang masuk akal atau dapat diterima secara ilmiah yang disajikan untuk menjelaskan suatu fenomena, sedangkan filsafat (philosophy) ialah pencarian akan pemahaman umum tentang nilai-nilai dan realitas, yang dilakukan terutama melalui cara yang spekulatif,  bukan secara observasi.  Konstruktivisme bukan berakar pada penelitian pendidikan dibanding dengan berbagai teori belajar yang lain seperti behaviorisme dan kognitivisme. Namun demikian, saat ini konstruktivisme banyak dikembangkan oleh komunitas pendidik dalam melalukan desain atau rancangan instruksional. 

B.     Konstruktivisme dalam Makna
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil dari konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang. Siswa membentuk skema, kategori konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bottencourt,1989). Pengetahuan bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus setiap kali terjadi reorganisasi/ rekonstruksi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget,1971).
Alat/ sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan  dengan cara melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu, seseorang mengkonstruksi gambaran dunianya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang  (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau konstruksi yang telah mereka bangun/miliki sebelumnya (Lorbach dan Tobin,1992).
Pengetahuan merujuk pada pengalaman seseorang akan dunia, tetapi bukan dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak hanya diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga pengalaman kognitif dan mental.  Pengetahuan dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya (Vonglaserfeld, 1989). Lingkungan merujuk pada semua objek  dan proposisinya yang kita abstraksikan dari pengalaman dalam diri kita sendiri. Lingkungan juga merujuk pada hal-hal yang berada di sekeliling fokus kita. Lingkungan, baik yang ada dalam diri kita sendiri maupaun hal-hal disekeliling merupakan lingkup dari pengalaman kita masing-masing, bukan dunia obyektif yang lepas dari pengamat (Von Glaserfeld, 1996).
Abstraksi seseorang terhadap suatu hal membentuk struktur konsep dan menjadi pengetahuan seseorang akan hal tersebut. Misalnya, abstraksi seseorang akan ciri-ciri harimau dibandingkan dengan kucing akan menjadi pengetahuan orang tersebut  tentang harimau dan kucing. Abstraksi tersebut menjadi konsep yang dapat digunakan dalam menganalisis hewan-hewan lain yang dijumpainya dan dalam membedakan antara kucing dan harimau.
Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukanlah hal yang statis dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Misalnya, pengetahuan kita akan kucing tidak sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil kita melihat kucing, menjamah dan bermain dengan kucing di rumah. Melalui pengalaman tersebut kita mengkonstruksi pengertian kita tentang kucing, sejauh yang dapat kita tangkap dari pengalaman. Selanjutnya kita memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan kucing-kucing lain. Interaksi dengan macam-macam kucing ini menjadikan pengetahuan kita tentang kucing lebih lengkap dan rinci. Begitulah yang terjadi terus menerus. Konstruktivisme juga mengatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi kita sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. Setiap orang membangun pengetahuannya sendiri, sehingga transfer pengetahuan (seperti menumpahklan air ke ember kosong ) adalah sangatlah mustahil terjadi (Von Glaserfeld).
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan kepada orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan, bila seorang guru bermaksud mentransferkan konsep, ide, dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan, ditransformasikan, dan dikonstruksikan oleh siswa lewat pengalamannya (Von Glaserfeld dalam Bottencourt 1989). Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan oleh guru (misconception)   menunjukkan bahwa pengetahuan kita tidak dapat begitu saja  dipindahkan melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan dan ditransformasikan  sendiri oleh siswa.
Dari uraian di atas, maka dapat kita simpulkan batasan-batasan/ definisi konstruktivisme sebagai berikut :
a.       Merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi (bentukan) kita sendiri, bukan imitasi dari kenyataan, bukan gambaran dunia kenyataan yang ada.
b.      Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
c.       Pengetahuan bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang dialaminya
d.      Proses pembentukan ini berjalan terus menerus, dan setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya pengalaman baru.

C.    Perbandingan Konstruktivisme dengan  Berbagai Aliran Teori
a.      Konstruktivisme dan Empirisme
Pertanyaan paling besar dalam konstruktivisme : Struktur pengetahuan itu terletak dalam realitas mana? Apakah yang disebut kebenaran pengetahuan ? Kenyataan terdiri atas dua dimensi: dimensi eksternal yang bersifat objetif, dan dimensi internal yang bersifat subjektif. Kaum rasionalis: pengetahuan merujuk pada obyek-obyek, dan kebenaran merupakan akibat dari deduksi logis. (Cogito ergo sum = Saya berpikir maka saya ada). Kaum empiris: pengetahuan merujuk pada obyek-obyek berdasarkan penalaran induktif dengan bukti-bukti yang diperoleh dari pengalaman. Menurut kaum empiris, semua kenyataan itu diketahui dan dipahami melalui indra, dan kriteria kebenarannya adalah kesesuaiannya dengan  pengalaman. Dalam hal ini kaum rasionalis lebih menekankan pada: rasio, logika, dan pengetahuan deduktif, sedangkan kaum empiris lebih menekankan pada pengalaman dan pengetahuan induktif. Konstruktivisme dikatakan merupakan sintesis pandangan rasionalis dan empiris. Konstruktivisme menunjukkan interaksi antara subyek dan objek, antara realitas eksternal dan juga internal.
b.      Konstruktivisme, Empirisme, dan Relativisme
Konstruktivisme sering terkontaminasi sehingga mengarah ke empirisme dan relativisme, terlebih dalam pendidikan sains. Kaum konstruktivis dalam pendidikan sains menekankan pada peranan indra, pengalaman, dan percobaan dalam pengembangan pengetahuan, sehingga cenderung ke empirisme. Konstruktivis lain menekankan pada abstraksi, sehingga mengarah pada relativisme, yang mengatakan bahwa semua konsep adalah sah, karena setiap ide diturunkan dari suatu abstraksi yang dianggap sah pula.
c.       Konstruktivisme, Empirisme, Nativisme, dan Pragmatisme
Kalau empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman indrawi, nativisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah dari dalam diri: manusia. Konstruktivisme memuat segi empirisme dan nativisme (gabungan) pengetahuan itu berasal dari sumber luar tetapi dikonstruksikan dalam diri seseorang. Kebenaran pengetahuan dalam konstruktivisme diganti dengan viability (berjalannya suatu pengetahuan) dan tidak mengklaim kebenaran. Hal ini berbeda dengan pragmatisme yang berslogan: kebenaran adalah hanya apa yang jalan. Konstruktivisme tidak mengklaim suatu kebenaran.
d.      Konstruktivime vs Idealisme
Kaum idealis menyatakan bahwa pikiran dan konstruksinya adalah satu-satunya realitas. Konstruktivisme menyatakan bahwa kenyataan adalah apa yang dikonstruksikan dalam pikiran manusia. Bentukan selalu berjalan, namun tidak selalu merupakan representasi dari dunia nyata. 
e.       Konstruktivisme vs Objektivisme
Bagi para Objektivis: realitas itu ada, terlepas dari pengamat, dan dapat ditemukan melalui langkah-langkah sistematis menuju kenyataan dunia ini. Konstruktivisme: pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adalah suatu kerangka untuk mengerti bagaimana seseorang mengorganisasikan pengealaman, dan apa yang mereka percayai sebagai realitas.

D.    Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
             Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua peserta didik  benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari pendidik  “diserap” oleh murid. Ini berarti bahwa setiap peserta didik akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97)
Selanjutnya Muijs dan Reynolds  mengemukakan bahwa peserta didik adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi yaitu:
1.       Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Peserta didik secara aktif mengkonstrusikan belajarnya dari berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. Belajar adalah tentang membantu perta didik untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar”.
2.       Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. Peserta didik secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, pendidik mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan peserta didik untuk mengkonstruksi makna.
3.       Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, pendidik, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok
4.       Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa peserta didik secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif pendidik harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi
5.       Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
6.       Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Peserta didik hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
7.       Mengajar adalah tentang memberdayakan peserta didik, dan memungkinkan peserta didik  untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/ asli dan pemahaman yang lebih dalam. Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa prinsip dasar pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut :
1.      Pengetahuan dibangun oleh peserta didik  sendiri, baik secara personal maupun sosial.
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik atau pembelajar ke peserta didik, kecuali melalui keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.
3.      Peserta didik aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah
4.      Pendidik atau pembelajar sekedar membantu  menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik dapat terlaksana.

E.     Hubungan Konstruktivisme dengan Beberapa  Teori Belajar
Konstruktivisme menjadi landasan beberapa Teori Belajar, misalnya Teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna (Ausubel), Teori Skema.
a.      Konstruktivisme dan Teori Perubahan Konsep
Konstruktivisme maupun Teori Perubahan Konsep percaya bahwa dalam proses belajar seseorang mengalami perubahan konsep melalui proses perkembangan terus menerus, dengan cara mengubah konsep lama melalui akomodasi. Atau mengembangkan konsep yang sudah ada melalui asimilasi; pengertian yang dibentuk sendiri oleh peserta didik mungkin berbeda-beda dengan  pengertian ilmuwan, sehingga terjadi miskonsepsi.
b.      Konstruktivisme dan Balajar Bermakna
Teori Belajar Bermakna (Ausubel) juga didasarkan atas Konstruktivisme, dengan penekanan pada pentingnya peserta didik mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya
c.       Konstruktivisme dan Teori Skema
Teori Skema juga berlandaskan Konstruktivisme, memandang bahwa seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi (menambah atau mengganti) skema yang sudah dimiliki. Proses pembentukan dan pengubahan skema merupakan proses belajar

F.     Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Peserta Didik
Kegiatan belajar adalah kegiatan aktif peserta didik untuk menemukan sesuatu dan membangun sendiri pengetahuannya, bukan proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Peserta didik bertanggungjawab atas hasil belajarnya. Ia membuat penalaran atas apa yang telah dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah diketahuinya, serta menyelesaikan ketidaksamaan antara yang telah diketahui dengan apa yang diperlukan dalam pengalaman baru. Belajar merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat kerangka  pengertian yang berbeda. Belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, dll., dan dalam prosesnya tingkat pemikiran selalu diperbaharui sehingga menjadi semakin lengkap.
Setiap peserta didik mempunyai caranya sendiri untuk mengkonstruksikan pengetahuannya, yang terkadang sangat berbeda dengan teman-temannya. Jadi sangat penting bagi pendidik atau pembelajar untuk menciptakan berbagai variasi situasi dan metode belajar, karena dengan satu model saja tidak akan membantu peserta didik  yang cara belajarnya berbeda. Model Multiple Intelegence dari Howard Gardner sangat membantu dalam hal ini.

Peserta didik belajar dalam kelompok 
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi peserta didik  bila ia terlibat secara sosial dalam dialog, dan aktif dalam percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna dapat diperoleh dari dialog antar pribadi dalam suatu kelompok. Dalam kelompok belajar, peserta didik  dapat mengungkapkan perspektifnya dalam melihat persoalan dan hal lain yang akan dilakukan dengan persoalan itu. Melalui kesempatan mengemukakan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain, serta bersama-sama membangun pengertian akan menjadi sangat penting dalam belajar, karena memiliki unsur yang berguna untuk menantang pemikiran dan meningkatkan kepercayaan seseorang.

G.    Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Proses Pembelajaran
Bagi konstruktivisme, pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dari pendidik ke peserta didik, melainkan kegiatan yang memungkinkan peserta didik  membangun sendiri pengetahuannya (belajar sendiri). 
Pembelajaran berarti partisipasi pendidik bersama peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Pembelajaran adalah proses membantu seseorang berpikir secara benar, dengan cara membiarkannya berpikir sendiri, Berpikir yang baik lebih penting dari pada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan. Seorang yang mempunyai cara berpikir yang baik dapat menggunakan cara berpikirnya ini dalam mengahadapi suatu fenomena baru, dan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain. Kemampuan ini tidak dipunyai peserta didik yang hanya dapat menemukan jawaban yang benar, sehingga tidak dapat memecahkan masalah  yang baru.
Di Indonesia, konsep ini sesungguhnya pernah diterapkan. Wujudnya ada pada pembelajaran CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA menjawab permasalahan pendidikan yang monoton pada saat itu dengan teacher centered nya, sehingga masa saat itu banyak orang memplesetkan dengan kata Catat Buku sampai Habis (CBSA), karena kebanyakan guru masih memberlakukan gaya pembelajaran mendikte, dan siswa disuruh menulis atau apapun yang sifatnya ”dikte-an” dari guru. Sayangnya, implementasi CBSA yang konsepnya sesungguhnya bagus, dalam pelaksanaannya ternyata kebanyakan guru tidak siap melaksanakan konsep CBSA. Hasilnya, CBSA hanya ”mengaktifkan” siswa saja sementara guru justru pasif. Pun demikian halnya dengan kurikulum terbaru, KTSP, didalamnya pendidik pun diharuskan membuat Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi (EEK). Namun dalam praktik di lapangan, sepertinya hal tersebut masih sekadar formalitas dalam dokumen pembelajaran semata, yang minim implementasi.

H.    Pendidik Sebagai Mediator dan Fasilitator
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik berperan sebagai mediator dan fasilitator, yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan baik, yaitu :
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik  bertanggungjawab. Memberi kuliah/ ceramah bukan lagi tugas utama pendidik.
2.      Menyediakan kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, dan membantu mereka mengekspresikan gagasannya serta mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.      Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik sudah berjalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Agar faktor-faktor tersebut berfungsi optimal, maka kegiatan pendidik hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Pendidik perlu banyak berinteraksi dengan peserta didik untuk lebih mengerti hal-hal yang sudah diketahui dan dipikirkan peserta didik.
2.      Tujuan dan apa yang akan dilakukan di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga  peserta didik sungguh terlibat
3.      Pendidik perlu mengerti pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi di tengah peserta didik.
4.      Diperlukan keterlibatan pendidik  bersama peserta didik yang sedang belajar, dan pendidik perlu menumbuhkan kepercayaan peserta didik  bahwa mereka dapat belajar
5.      Pendidik perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran peserta didik, karena kadang kala peserta didik berpikir berdasarkan pengandaian yang belum tentu diterima pendidik.
Pendidik yang konstruktivis akan dapat  menerima dan menghormati upaya-upaya peserta didik untuk membentuk suatu pengertian baru, sehingga dapat menciptakan berbagai kemungkinan untuk peserta didik berkreasi, dengan cara:
1.      Membebaskan peserta didik dari ikatan beban kurikulum dan membolehkan untuk berfokus pada ide-ide yang menyeluruh (big concepts)
2.      Memberikan kewenangan dan kebebasan kepada peserta didik untuk mengikuti minatnya, mecari keterkaitan, mereformulasikan ide, dan mencapai kesimpulan yang unik.
3.      Berbagi informasi dengan peserta didik tentang kompleksitas kehidupan di mana terdapat berbagai perspektif, dan kebenaran merupakan interpretasi orang per orang.
4.      Mengakui bahwa belajar dan proses penilaian terhadap belajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dikelola, karena banyak hal yang tidak kasat mata, tetapi lebih kepada rasionalitas individu.
      Menurut Brook & Brook (1999), bahwa ciri sikap dan perilaku pendidik yang menerapkan pendekatan konstruktivisme dalam PBM adalah:
1.      Pendidik menganjurkan dan menerima otonomi dan inisiatif peserta didik dalam memahami, menginterpretasi materi pelajaran,
2.      Pendidik menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada ketrampilan berpikir kritis peserta didik,
    1. Ketika penyusunan tugas-tugas materi pelajaran, pendidik memakai istilah-istilah kognitif seperti: klasifikansikanlah; analisilah; ramalkanlah; dan ciptakanlah,
    2. Pendidik menyertakan respons peserta didik dalam rangka pengendalian pelajaran, mengubah strategi pembelajaran dan mengubah isi materi pelajaran,
    3. Pendidik menggali pemahaman, pengetahuan atau pengalaman peserta didik tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum konsep-konsep baru tentang materi pelajaran yang akan dikaji
    4. Pendidik menyediakan kondisi pembelajaran di kelas yang kondusif agar peserta didik dapat berdiskusi dengan baik dengan dirinya maupun dengan peserta didik yang lain untuk memecahkan permasalahan,
    5. Pendidik mendorong sikap inkuiri peserta didik dengan menanyakan sesuatu yang menuntut berpikir kritis-sistematis, menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan mendorong peserta didik agar berdiskusi antar teman,
    6. Pendidik mengolaborasi respon awal peserta didik atau guru sebagai mediator pemikiran-pemikiran peserta didik yang konstruktif,
    7. Pendidik mengikutsertakan peserta didik dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong untuk mendiskusikan sesama teman dan memecahkannya,
    8. Pendidik menyediakan waktu tunggu bagi peserta didik untuk memecahkan beberapa pertanyaan atau problem yang diajukan,
    9. Pendidik menyediakan waktu untuk peserta didik dalam mengkontruksi hubungan-hubungan dan menciptakan analogi atau kiasan-kiasan; dan,
    10. Pendidik memelihara sikap keingintahuan alamiah peserta didik melalui peningkatan frekuensi pemakaian model siklus belajar.
Dalam penerapan dua belas ciri pembelajaran konstruktivisme di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, yaitu: (a) pendidik berusaha mencari pandangan/ pendapat peserta didik dan membuatnya sebagai titik tolak untuk memulai pelajaran. Pendidik tidak boleh otoriter dalam menentukan topik pelajaran; (b) Pendidik mengarahkan kegiatan belajar untuk menantang apa yang menjadi keyakinan peserta didik; (c) Pendidik dalam menyajikan pelajaran memunculkan problem yang baru dan relevan bagi peserta didik; (d) Pendidik dalam merancang pembelajaran (RPP) mulai dari konsep dasar dan ide dasar, bukan bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain; (e) Pendidik memberikan penilaian hasil belajar peserta didik dalam konteks proses belajar, menggunakan pola penilaian internal (internal assessment); dan (f) Pendidik harus tetap tanpa henti membangun kualitas akademiknya, membangun semangat menyelidik dan meneliti (sense of inquiry dan sense of research), serta guru selalu berkaca diri yang menyangkut self concept, self idea, dan self reality (Satori, dkk, 2007).
Tanpa upaya diri untuk terus membangun kualitas akademik, kepribadian dan sosialnya, sulit seorang pendidik untuk menjadi mediator yang baik dalam pembelajaran konstruktivisme. Poin keenam ini menjadi kunci keberhasilan pembelajaran konstruktivisme, sebab bagaimana mungkin pembelajaran konstruktivisme akan bisa berhasil apabila pendidiknya sendiri wawasan keilmuannya tidak berkualitas, tidak multidimensi dan tidak prospektif.
Demikian berat beban kemampuan yang harus dimiliki seorang pendidik ketika akan menerapkan konstruktivisme dalam pembelajarannya. Meminjam istilahnya Andrias Harefa, maka seorang pendidik untuk melaksanakan pembelajaran konstruktivisme tidak boleh tidak, harus menjadi seoarang “manusia pembelajar”. Guru harus terus menerus untuk belajar, karena jika guru berhenti belajar, maka ia pun harus berhenti mengajar (Komaruddin Hidayat, 2012).
      Pendidik harus memiliki banyak amunisi untuk dapat menstimulasi siswa. Pendidik tidak dapat lagi menerapkan konsep CBSA dimana menekankan pada keaktifan siswa saja, karena tanpa pendidik yang (juga) aktif dan mampu mengimbangi siswa, siswa dapat menjadi “liar” pemahamannya. Konsep CBSA sudah tidak sesuai jika hanya siswa yang aktif, namun harus berubah menjadi Cara Belajar “Semua” Aktif (CBSA). Tentu tidak mudah menciptakan pendidik yang semacam ini. Terlebih jika LPTK tidak meng-up date pembekalannya terhadap para pendidik. Hal ini sudah terbukti saat ini, dimana kebanyakan pendidik masih memiliki kompetensi yang rendah. Rendahnya mereka tentu tidak boleh disalahkan sebagai kesalahan individual, karena mereka bukan mahluk yang muncul dengan cara sulap sim sala bim maupun kun fayakun, mereka lahir dari LPTK, sehingga, wajib pula hukumnya bagi LPTK untuk berbenah diri, karena di LPTK lah hulu sungai dari para pendidik muncul.

I.       Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Strategi Pembelajaran
Tugas pendidik ialah membantu peserta didik agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret. Selain penguasaan yang luas dan mendalam, seorang pendidik dituntut untuk menguasai beragam strategi pembelajaran sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu strategi pembelajaran yang cocok untuk semua situasi, waktu, dan tempat. Strategi yang disusun pendidik  hanyalah suatu alternatif, bukan menu yang sudah jadi. Pembelajaran adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi dari setiap pendidik.
Ciri Pembelajaran Konstruktivisme:
1.      Orientasi : Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik, dan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2.      Elisitasi : Peserta didik dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster,dll. Peserta didik mendiskusikan apa yang diobservasinya dalam wujud tulisan, gambar ataupun poster.
3.      Restrukturisasi ide
-          Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide orang lain
-          Membangun ide yang baru
-          Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen
4.      Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh peserta didik perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi, sehingga menjadi lebih lengkap dan lebih rinci.
5.      Review bagaimana ide berubah. Dapat terjadi bahwa dalam mengaplikasikan pengetahuannya, seseorang perlu merevisi gagasannya agar menjadi lebih lengkap.
Hal yang perlu diperhatikan dalam konstruktivisme ialah mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Dalam mengevaluasi, pendidik sebenarnya menunjukkan kepada peserta didik  bahwa pikiran/ pendapat mereka tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi berdasarkan prinsip atau teori tertentu. Kebenaran bukanlah hal yang dicari, namun berhasilnya suatu proses (viable) adalah hal yang dinilai.
Dalam mengevaluasi perlu dilihat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, misalnya peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya, atau sekedar dapat menangani prosedur standar dan memberikan sumber jawaban standar yang terbatas. Proses evaluasi berbeda berdasarkan tujuan belajarnya, namun dalam konstruktivisme berfokus pada pendekatan peserta didik terhadap persoalan yang dihadapi, bukan jawaban akhir yang diberikannya.
Proses evaluasi dalam pembelajaran konstruktivisme  tidak tergantung pada bentuk asesmen yang menggunakan paper and pencil test atau bentuk tes objektif. Bentuk asesmen yang digunakan disebut altenative assessment, seperti portfolio, observasi proses, dinamika kelompok, studi kasus, simulasi dan permainan, performance appraisal, dll. Dengan kondisi di negara kita, terlebih system Ujian Nasional, sepertinya penilaian konstruktivisme akan sulit diterapkan, kecuali untuk penilaian yang sifatnya harian. Sedangkan untuk penilaian akhir, terlebih untuk menentukan nasib lulus tidaknya seorang siswa, nampaknya penilaian konstruktivisme tidak akan berlaku.

Perbedaan situasi pembelajaran di kelas berasarkan konstruktivisme dan secara tradisional
Tradisional
Konstruktivisme
1.      Ruang lingkup terpisah
2.      Kurikulum secara tuntas
3.      Berdasar buku teks
  1. Peserta didik  sebagai ember yang akan diisi
  2. Pendidik mengajar dan sebagai  Penyebar informasi
7.      Mencari jawaban yang benar
8.      Penilaian terpisah dari proses belajar.
9.      Peserta didik bekerja sendiri

1.      Utuh  ada keterkaitan 
2.      Lebih penting pertanyaan peserta didik dan konstruksi jawaban.
3.      Beragam sumber.
4.      Peserta didik sebagai pemikir.
5.      Pendidik  interaktif, mediator dan  fasilitator.
6.      Pendidik mengikuti pola pikir peserta didik.
7.      Penilaian integral mengenai hasil kerja peserta didik
8.      Lebih banyak belajar berkelompok

J.      Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan penulisan makalah ini, dapat dituliskan beberapa simpulan yaitu:
1.      Penerapan model belajar konstruktivisme dalam pembelajaran berimplikasi terhadap Orientasi Pembelajaran. Pembelajaran dengan model belajar konstruktivisme tidak berorientasi pada produk tetapi berorientasi pada proses. Pembelajaran tidak dirasakan sebagai suatu proses pembebanan yang semata-mata berorientasi pada kemampuan peserta didik dalam merefleksikan apa yang dikerjakan atau diinformasikan pendidik. Penekanan pembelajaran terletak pada kemampuan peserta didik  untuk mengemukakan argumentasi dan mengorganisasi pengalaman, dalam hal ini akan dapat  mengungkapkan miskonsepsi peserta didik dan memperbaharuinya.
2.      Penerapan model belajar konstruktivisme dalam pembelajaran menuntut perubahan peran pendidik khususnya dalam cara pandang terhadap peserta didik. Model belajar konstruktivisme sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu realita. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivismeme adalah pergeseran peserta didik sebagai penerima pasif informasi. Para pendidik disarankan untuk menggunakan model belajar konstruktivisme sebagai menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
B. Saran
1.      Model belajar konstruktivisme telah mampu mengubah miskonsepsi peserta didik menjadi konsep ilmiah. Pembelajaran bukan lagi didikte, melainkan distimulasi.
2.      Pembelajaran sangat sarat dengan konsep-konsep yang membutuhkan penalaran tinggi. Agar hasil belajar yang dicapai lebih optimum maka para pendidik sebaiknya selalu memperhatikan penalaran formal yang telah dimiliki peserta didik. Sehingga strategi pengubah miskonsepsi dapat ditentukan dengan tepat. Telah terbukti bahwa kualitas miskonsepsi yang dimiliki peserta didik sangat tergantung pada penalaran formal peserta didik. Untuk hal ini, maka mutlak kompetensi pendidik harus senantiasa diperbarui.













DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Chatib, Munif. Penyunting Budhyastuti R.H. Cetakan VIII, 2010. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelegences di Indonesia. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Donald R. Cruickshank, et.al. (2006). The Act of Teaching, Fourth Edition. New York: McGraw-Hill

Muijs, Daniel, dan Reynolds David. (2008). Effective Teaching, Teori dan Praktek (terjemahan).

Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.

Salim, Agus. Eds. Edisi II Cetakan ke 1. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes dan Penerbit Tiara Wacana.

Sadia, dkk. (1996). Pengaruh Prior Knowledge dan Strategi Conseptual Change. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivismememe dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kaniius.