Mengapa pembahasan
mengenai konstruktivisme dalam pembelajaran ini penting? Karena perkembangan terakhir
dalam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, kebanyakan bermuara pada
penerapan berbagai strategi pembelajaran yang berorientasi pembelajar (Student-centered Learning Strategies),
dengan ciri-ciri:
-
belajar aktif
-
belajar mandiri
-
belajar kooperatif dan kolaboratif
-
generative learning.
Dan
juga berbagai model pembelajaran kognitif :
-
problem based
learning
-
discovery
learning
-
cognitive
strategies
Semuanya ini didasarkan
pada teori belajar atau aliran filsafat konstruktivisme.
Konstruktivisme
saat ini semakin mempengaruhi pembelajaran tradisional, khususnya pembelajaran
pada pendidikan tinggi. Sebagian pakar menganggap konstruktivisme sebagai suatu
aliran filsafat pengetahuan, namun sebagian lagi menganggapnya sebagai suatu
teori tentang pembelajaran. Menurut Kamus Merriam Webster, teori ialah
prinsip-prinsip umum yang masuk akal atau dapat diterima secara ilmiah yang
disajikan untuk menjelaskan suatu fenomena, sedangkan filsafat (philosophy)
ialah pencarian akan pemahaman umum tentang nilai-nilai dan realitas, yang
dilakukan terutama melalui cara yang spekulatif, bukan secara observasi. Konstruktivisme bukan berakar pada penelitian
pendidikan dibanding dengan berbagai teori belajar yang lain seperti
behaviorisme dan kognitivisme. Namun demikian, saat ini konstruktivisme banyak
dikembangkan oleh komunitas pendidik dalam melalukan desain atau rancangan
instruksional.
B.
Konstruktivisme dalam Makna
Konstruktivisme merupakan
salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil dari konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glaserfeld dalam
Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari
kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang
ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari
kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang. Siswa membentuk
skema, kategori konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan (Bottencourt,1989). Pengetahuan bukanlah tentang hal-hal yang
terlepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan
dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini
berjalan terus menerus setiap kali terjadi reorganisasi/ rekonstruksi karena
adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget,1971).
Alat/ sarana yang
tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang
berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan cara melihat, mendengar, menjamah,
mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu, seseorang mengkonstruksi
gambaran dunianya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu
saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa
sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau konstruksi yang telah mereka bangun/miliki
sebelumnya (Lorbach dan Tobin,1992).
Pengetahuan merujuk pada pengalaman seseorang akan
dunia, tetapi bukan dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman, seseorang tidak dapat
membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak hanya diartikan sebagai pengalaman
fisik, tetapi juga pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan dibentuk
oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya
(Vonglaserfeld, 1989). Lingkungan merujuk pada semua objek dan
proposisinya yang kita abstraksikan dari pengalaman dalam diri kita sendiri.
Lingkungan juga merujuk pada hal-hal yang berada di sekeliling fokus kita.
Lingkungan, baik yang ada dalam diri kita sendiri maupaun hal-hal disekeliling
merupakan lingkup dari pengalaman kita masing-masing, bukan dunia obyektif yang
lepas dari pengamat (Von Glaserfeld, 1996).
Abstraksi seseorang terhadap suatu hal membentuk
struktur konsep dan menjadi pengetahuan seseorang akan hal tersebut. Misalnya, abstraksi
seseorang akan ciri-ciri harimau dibandingkan dengan kucing akan menjadi
pengetahuan orang tersebut tentang harimau dan kucing. Abstraksi tersebut
menjadi konsep yang dapat digunakan dalam menganalisis hewan-hewan lain yang
dijumpainya dan dalam membedakan antara kucing dan harimau.
Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukanlah hal
yang statis dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Misalnya, pengetahuan
kita akan kucing tidak sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu.
Pada waktu kecil kita melihat kucing, menjamah dan bermain dengan kucing di
rumah. Melalui pengalaman tersebut kita mengkonstruksi pengertian kita tentang
kucing, sejauh yang dapat kita tangkap dari pengalaman. Selanjutnya kita
memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan kucing-kucing lain. Interaksi dengan
macam-macam kucing ini menjadikan pengetahuan kita tentang kucing lebih lengkap
dan rinci. Begitulah yang terjadi terus menerus. Konstruktivisme juga
mengatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi
kita sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari
seseorang kepada yang lain. Setiap orang membangun pengetahuannya sendiri, sehingga
transfer pengetahuan (seperti menumpahklan air ke ember kosong ) adalah
sangatlah mustahil terjadi (Von Glaserfeld).
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat
ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan kepada orang yang belum
mempunyai pengetahuan. Bahkan, bila seorang guru bermaksud mentransferkan
konsep, ide, dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus
diinterpretasikan, ditransformasikan, dan dikonstruksikan oleh siswa lewat
pengalamannya (Von Glaserfeld dalam Bottencourt 1989). Banyaknya siswa yang
salah menangkap apa yang diajarkan oleh guru (misconception)
menunjukkan bahwa pengetahuan kita tidak dapat begitu saja
dipindahkan melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit
diinterpretasikan dan ditransformasikan sendiri oleh siswa.
Dari uraian di atas, maka dapat kita simpulkan
batasan-batasan/ definisi konstruktivisme sebagai berikut :
a. Merupakan salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi
(bentukan) kita sendiri, bukan imitasi dari kenyataan, bukan gambaran dunia
kenyataan yang ada.
b.
Pengetahuan
selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi
melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori,
konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
c.
Pengetahuan bukanlah tentang hal-hal yang terlepas
dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari
pengalaman atau dunia yang dialaminya
d.
Proses pembentukan ini berjalan terus menerus, dan
setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya pengalaman
baru.
C.
Perbandingan
Konstruktivisme dengan Berbagai Aliran
Teori
a. Konstruktivisme dan Empirisme
Pertanyaan paling besar dalam
konstruktivisme : Struktur pengetahuan itu terletak dalam realitas mana? Apakah
yang disebut kebenaran pengetahuan ? Kenyataan terdiri atas dua dimensi:
dimensi eksternal yang bersifat objetif, dan dimensi internal yang bersifat
subjektif. Kaum rasionalis: pengetahuan merujuk pada obyek-obyek, dan
kebenaran merupakan akibat dari deduksi
logis. (Cogito ergo sum = Saya
berpikir maka saya ada). Kaum empiris: pengetahuan merujuk pada
obyek-obyek berdasarkan penalaran
induktif dengan bukti-bukti yang diperoleh dari pengalaman. Menurut kaum
empiris, semua kenyataan itu diketahui dan dipahami melalui indra, dan kriteria
kebenarannya adalah kesesuaiannya dengan
pengalaman. Dalam hal ini kaum rasionalis lebih menekankan pada: rasio,
logika, dan pengetahuan deduktif, sedangkan kaum empiris lebih menekankan pada
pengalaman dan pengetahuan induktif. Konstruktivisme dikatakan merupakan
sintesis pandangan rasionalis dan empiris. Konstruktivisme menunjukkan interaksi
antara subyek dan objek, antara realitas eksternal dan juga internal.
b. Konstruktivisme, Empirisme, dan Relativisme
Konstruktivisme sering
terkontaminasi sehingga mengarah ke empirisme dan relativisme, terlebih dalam
pendidikan sains. Kaum konstruktivis dalam pendidikan sains menekankan pada
peranan indra, pengalaman, dan percobaan dalam pengembangan pengetahuan,
sehingga cenderung ke empirisme.
Konstruktivis lain menekankan pada abstraksi, sehingga mengarah pada relativisme, yang mengatakan bahwa semua konsep
adalah sah, karena setiap ide diturunkan dari suatu abstraksi yang dianggap sah
pula.
c. Konstruktivisme, Empirisme, Nativisme, dan
Pragmatisme
Kalau empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari
pengalaman indrawi, nativisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah dari
dalam diri: manusia. Konstruktivisme
memuat segi empirisme dan nativisme
(gabungan) pengetahuan itu berasal dari sumber luar tetapi dikonstruksikan
dalam diri seseorang. Kebenaran pengetahuan dalam konstruktivisme diganti
dengan viability (berjalannya suatu pengetahuan)
dan tidak mengklaim kebenaran. Hal ini berbeda dengan pragmatisme yang berslogan: kebenaran adalah hanya apa yang jalan. Konstruktivisme
tidak mengklaim suatu kebenaran.
d. Konstruktivime vs Idealisme
Kaum idealis menyatakan bahwa
pikiran dan konstruksinya adalah satu-satunya realitas. Konstruktivisme
menyatakan bahwa kenyataan adalah apa yang dikonstruksikan dalam pikiran
manusia. Bentukan selalu berjalan, namun tidak selalu merupakan representasi
dari dunia nyata.
e. Konstruktivisme vs Objektivisme
Bagi para Objektivis: realitas
itu ada, terlepas dari pengamat, dan dapat ditemukan melalui langkah-langkah
sistematis menuju kenyataan dunia ini. Konstruktivisme: pengetahuan adalah
konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adalah suatu kerangka untuk mengerti
bagaimana seseorang mengorganisasikan pengealaman, dan apa yang mereka percayai
sebagai realitas.
D.
Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan
melalui keterlibatan fisik dan mental peserta didik secar aktif, dan juga
merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan
pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai
objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua peserta didik benar-benar
mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang
datang dari pendidik “diserap” oleh
murid. Ini berarti bahwa setiap peserta didik akan mempelajari sesuatu yang
sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97)
Selanjutnya Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa peserta
didik adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi
yaitu:
1. Belajar selalu merupakan sebuah proses
aktif. Peserta didik secara aktif mengkonstrusikan belajarnya dari berbagai
macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap
aktif agar dapat belajar secara efektif. Belajar adalah tentang membantu perta
didik untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan
jawaban yang benar”.
2. Bagi konstruktivis, belajar adalah
pencarian makna. Peserta didik secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna.
Dengan demikian, pendidik mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan
belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan peserta didik
untuk mengkonstruksi makna.
3. Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang
bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui
interaksi dengan teman sebaya, pendidik, orang tua, dan sebagainya. Dengan
demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial,
dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok
4. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa peserta
didik secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar
efektif pendidik harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak
dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti
apa yang dapat terjadi
5. Di samping itu, belajar selalu
dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi
sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
6. Belajar secara betul-betul mendalam
berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi
dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah
satu topik ke topik lain. Peserta didik hanya dapat mengkonstruksikan makna
bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
7. Mengajar adalah tentang memberdayakan peserta
didik, dan memungkinkan peserta didik untuk menemukakan dan melakukan refleksi
terhadap pengalaman-pengalaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran
yang otentik/ asli dan pemahaman yang lebih dalam. Ini juga membuat kaum
konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on
daripada tekxbook
Dengan demikian, dapat kita
simpulkan bahwa prinsip dasar pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai
berikut :
1.
Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun sosial.
2.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik atau
pembelajar ke peserta didik, kecuali melalui keaktifan peserta didik sendiri
untuk menalar.
3.
Peserta didik aktif mengkonstruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke yang lebih rinci,
lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah
4. Pendidik atau pembelajar sekedar
membantu menyediakan sarana dan situasi
agar proses konstruksi peserta didik dapat terlaksana.
E.
Hubungan Konstruktivisme dengan
Beberapa Teori Belajar
Konstruktivisme
menjadi landasan beberapa Teori Belajar, misalnya Teori Perubahan Konsep, Teori
Belajar Bermakna (Ausubel), Teori Skema.
a. Konstruktivisme dan Teori Perubahan Konsep
Konstruktivisme maupun Teori Perubahan Konsep percaya bahwa dalam proses
belajar seseorang mengalami perubahan konsep melalui proses perkembangan terus
menerus, dengan cara mengubah konsep lama melalui akomodasi. Atau mengembangkan
konsep yang sudah ada melalui asimilasi; pengertian yang dibentuk sendiri oleh peserta
didik mungkin berbeda-beda dengan pengertian
ilmuwan, sehingga terjadi miskonsepsi.
b. Konstruktivisme dan Balajar Bermakna
Teori Belajar Bermakna (Ausubel) juga didasarkan atas Konstruktivisme,
dengan penekanan pada pentingnya peserta didik mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dimiliki peserta
didik sebelumnya
c. Konstruktivisme dan Teori Skema
Teori Skema
juga berlandaskan Konstruktivisme, memandang bahwa seseorang belajar dengan
mengadakan restrukturisasi (menambah atau mengganti) skema yang sudah dimiliki.
Proses pembentukan dan pengubahan skema merupakan proses belajar
F.
Pengaruh
Konstruktivisme Terhadap Peserta Didik
Kegiatan belajar adalah kegiatan aktif peserta didik untuk
menemukan sesuatu dan membangun sendiri pengetahuannya, bukan proses mekanik
untuk mengumpulkan fakta. Peserta didik bertanggungjawab atas hasil belajarnya.
Ia membuat penalaran atas apa yang telah dipelajarinya dengan cara mencari
makna, membandingkannya dengan apa yang telah diketahuinya, serta menyelesaikan
ketidaksamaan antara yang telah diketahui dengan apa yang diperlukan dalam
pengalaman baru. Belajar merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat
kerangka pengertian yang berbeda.
Belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik, dialog,
penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, dll., dan dalam
prosesnya tingkat pemikiran selalu diperbaharui sehingga menjadi semakin
lengkap.
Setiap peserta
didik mempunyai caranya sendiri untuk mengkonstruksikan pengetahuannya, yang
terkadang sangat berbeda dengan teman-temannya. Jadi sangat penting bagi pendidik
atau pembelajar untuk menciptakan berbagai variasi situasi dan metode belajar,
karena dengan satu model saja tidak akan membantu peserta didik yang cara belajarnya berbeda. Model Multiple Intelegence
dari Howard Gardner sangat membantu dalam hal ini.
Peserta didik belajar dalam kelompok
Pengetahuan dan
pengertian dikonstruksi peserta didik bila ia terlibat secara sosial dalam dialog,
dan aktif dalam percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna dapat diperoleh
dari dialog antar pribadi dalam suatu kelompok. Dalam kelompok belajar, peserta
didik dapat mengungkapkan perspektifnya
dalam melihat persoalan dan hal lain yang akan dilakukan dengan persoalan itu.
Melalui kesempatan mengemukakan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain,
serta bersama-sama membangun pengertian akan menjadi sangat penting dalam
belajar, karena memiliki unsur yang berguna untuk menantang pemikiran dan
meningkatkan kepercayaan seseorang.
G.
Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Proses
Pembelajaran
Bagi
konstruktivisme, pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan (transfer
of knowledge) dari pendidik ke peserta didik, melainkan kegiatan yang
memungkinkan peserta didik membangun
sendiri pengetahuannya (belajar sendiri).
Pembelajaran
berarti partisipasi pendidik bersama peserta didik dalam membentuk pengetahuan,
membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Pembelajaran adalah proses membantu seseorang berpikir secara benar, dengan cara
membiarkannya berpikir sendiri, Berpikir yang baik lebih penting dari pada
mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan. Seorang yang mempunyai cara
berpikir yang baik dapat menggunakan cara berpikirnya ini dalam mengahadapi
suatu fenomena baru, dan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan
lain. Kemampuan ini tidak dipunyai peserta didik yang hanya dapat menemukan
jawaban yang benar, sehingga tidak dapat memecahkan masalah yang baru.
Di Indonesia,
konsep ini sesungguhnya pernah diterapkan. Wujudnya ada pada pembelajaran CBSA
(Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA menjawab permasalahan pendidikan yang monoton
pada saat itu dengan teacher centered nya, sehingga masa saat itu banyak
orang memplesetkan dengan kata Catat Buku sampai Habis (CBSA), karena
kebanyakan guru masih memberlakukan gaya pembelajaran mendikte, dan siswa
disuruh menulis atau apapun yang sifatnya ”dikte-an” dari guru. Sayangnya,
implementasi CBSA yang konsepnya sesungguhnya bagus, dalam pelaksanaannya
ternyata kebanyakan guru tidak siap melaksanakan konsep CBSA. Hasilnya, CBSA
hanya ”mengaktifkan” siswa saja sementara guru justru pasif. Pun demikian
halnya dengan kurikulum terbaru, KTSP, didalamnya pendidik pun diharuskan
membuat Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi (EEK). Namun dalam praktik di
lapangan, sepertinya hal tersebut masih sekadar formalitas dalam dokumen
pembelajaran semata, yang minim implementasi.
H.
Pendidik
Sebagai Mediator dan Fasilitator
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik
berperan sebagai mediator dan fasilitator, yang membantu agar proses belajar peserta
didik berjalan baik, yaitu :
1.
Menyediakan pengalaman
belajar yang memungkinkan peserta didik bertanggungjawab. Memberi kuliah/
ceramah bukan lagi tugas utama pendidik.
2.
Menyediakan kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta
didik, dan membantu mereka mengekspresikan gagasannya serta mengkomunikasikan
ide ilmiah mereka.
3.
Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik sudah berjalan atau
tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta
didik dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Agar faktor-faktor tersebut berfungsi
optimal, maka kegiatan pendidik hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.
Pendidik perlu banyak berinteraksi dengan peserta didik
untuk lebih mengerti hal-hal yang sudah diketahui dan dipikirkan peserta didik.
2.
Tujuan dan apa yang akan dilakukan di kelas sebaiknya
dibicarakan bersama sehingga peserta
didik sungguh terlibat
3.
Pendidik perlu mengerti pengalaman belajar yang lebih
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini dapat dilakukan dengan
berpartisipasi di tengah peserta didik.
4.
Diperlukan keterlibatan pendidik bersama peserta didik yang sedang belajar, dan
pendidik perlu menumbuhkan kepercayaan peserta didik bahwa mereka dapat belajar
5.
Pendidik perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk
dapat mengerti dan menghargai pemikiran peserta didik, karena kadang kala peserta
didik berpikir berdasarkan pengandaian yang belum tentu diterima pendidik.
Pendidik
yang konstruktivis akan dapat menerima
dan menghormati upaya-upaya peserta didik untuk membentuk suatu pengertian
baru, sehingga dapat menciptakan berbagai kemungkinan untuk peserta didik
berkreasi, dengan cara:
1.
Membebaskan peserta didik dari ikatan beban kurikulum
dan membolehkan untuk berfokus pada ide-ide yang menyeluruh (big concepts)
2.
Memberikan kewenangan dan kebebasan kepada peserta
didik untuk mengikuti minatnya, mecari keterkaitan, mereformulasikan ide, dan
mencapai kesimpulan yang unik.
3.
Berbagi informasi dengan peserta didik tentang
kompleksitas kehidupan di mana terdapat berbagai perspektif, dan kebenaran
merupakan interpretasi orang per orang.
4.
Mengakui bahwa belajar dan proses penilaian terhadap
belajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dikelola, karena banyak hal yang
tidak kasat mata, tetapi lebih kepada rasionalitas individu.
Menurut
Brook & Brook (1999), bahwa ciri sikap dan perilaku pendidik yang
menerapkan pendekatan konstruktivisme dalam PBM adalah:
1.
Pendidik menganjurkan dan menerima otonomi dan
inisiatif peserta didik dalam memahami, menginterpretasi materi pelajaran,
2.
Pendidik menggunakan data primer dan bahan manipulatif
dengan penekanan pada ketrampilan berpikir kritis peserta didik,
- Ketika penyusunan tugas-tugas materi pelajaran, pendidik
memakai istilah-istilah kognitif seperti: klasifikansikanlah; analisilah;
ramalkanlah; dan ciptakanlah,
- Pendidik menyertakan respons peserta didik dalam
rangka pengendalian pelajaran, mengubah strategi pembelajaran dan
mengubah isi materi pelajaran,
- Pendidik menggali pemahaman, pengetahuan atau
pengalaman peserta didik tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan
sebelum konsep-konsep baru tentang materi pelajaran yang akan dikaji
- Pendidik menyediakan kondisi pembelajaran di kelas
yang kondusif agar peserta didik dapat berdiskusi dengan baik dengan
dirinya maupun dengan peserta didik yang lain untuk memecahkan
permasalahan,
- Pendidik mendorong sikap inkuiri peserta didik
dengan menanyakan sesuatu yang menuntut berpikir kritis-sistematis,
menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan mendorong peserta didik
agar berdiskusi antar teman,
- Pendidik mengolaborasi respon awal peserta didik
atau guru sebagai mediator pemikiran-pemikiran peserta didik yang
konstruktif,
- Pendidik mengikutsertakan peserta didik dalam
pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap
hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong untuk mendiskusikan sesama
teman dan memecahkannya,
- Pendidik menyediakan waktu tunggu bagi peserta
didik untuk memecahkan beberapa pertanyaan atau problem yang diajukan,
- Pendidik menyediakan waktu untuk peserta didik
dalam mengkontruksi hubungan-hubungan dan menciptakan analogi atau
kiasan-kiasan; dan,
- Pendidik memelihara sikap keingintahuan alamiah
peserta didik melalui peningkatan frekuensi pemakaian model siklus
belajar.
Dalam penerapan dua belas ciri pembelajaran
konstruktivisme di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik,
yaitu: (a) pendidik berusaha mencari pandangan/ pendapat peserta didik dan
membuatnya sebagai titik tolak untuk memulai pelajaran. Pendidik tidak boleh
otoriter dalam menentukan topik pelajaran; (b) Pendidik mengarahkan kegiatan
belajar untuk menantang apa yang menjadi keyakinan peserta didik; (c) Pendidik dalam
menyajikan pelajaran memunculkan problem yang baru dan relevan bagi peserta
didik; (d) Pendidik dalam merancang pembelajaran (RPP) mulai dari konsep dasar
dan ide dasar, bukan bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain; (e) Pendidik
memberikan penilaian hasil belajar peserta didik dalam konteks proses belajar,
menggunakan pola penilaian internal (internal assessment); dan (f) Pendidik harus
tetap tanpa henti membangun kualitas akademiknya, membangun semangat menyelidik
dan meneliti (sense of inquiry dan sense of research), serta guru selalu
berkaca diri yang menyangkut self concept, self idea, dan self
reality (Satori, dkk, 2007).
Tanpa upaya diri untuk terus membangun kualitas
akademik, kepribadian dan sosialnya, sulit seorang pendidik untuk menjadi
mediator yang baik dalam pembelajaran konstruktivisme. Poin keenam ini menjadi
kunci keberhasilan pembelajaran konstruktivisme, sebab bagaimana mungkin
pembelajaran konstruktivisme akan bisa berhasil apabila pendidiknya sendiri
wawasan keilmuannya tidak berkualitas, tidak multidimensi dan tidak prospektif.
Demikian berat beban kemampuan yang harus dimiliki
seorang pendidik ketika akan menerapkan konstruktivisme dalam pembelajarannya.
Meminjam istilahnya Andrias Harefa, maka seorang pendidik untuk melaksanakan
pembelajaran konstruktivisme tidak boleh tidak, harus menjadi seoarang “manusia
pembelajar”. Guru harus terus menerus untuk belajar, karena jika guru berhenti
belajar, maka ia pun harus berhenti mengajar (Komaruddin Hidayat, 2012).
Pendidik harus
memiliki banyak amunisi untuk dapat menstimulasi siswa. Pendidik tidak dapat
lagi menerapkan konsep CBSA dimana menekankan pada keaktifan siswa saja, karena
tanpa pendidik yang (juga) aktif dan mampu mengimbangi siswa, siswa dapat
menjadi “liar” pemahamannya. Konsep CBSA sudah tidak sesuai jika hanya siswa
yang aktif, namun harus berubah menjadi Cara Belajar “Semua” Aktif (CBSA).
Tentu tidak mudah menciptakan pendidik yang semacam ini. Terlebih jika LPTK
tidak meng-up date pembekalannya terhadap para pendidik. Hal ini sudah
terbukti saat ini, dimana kebanyakan pendidik masih memiliki kompetensi yang
rendah. Rendahnya mereka tentu tidak boleh disalahkan sebagai kesalahan
individual, karena mereka bukan mahluk yang muncul dengan cara sulap sim
sala bim maupun kun fayakun, mereka lahir dari LPTK, sehingga, wajib
pula hukumnya bagi LPTK untuk berbenah diri, karena di LPTK lah hulu sungai
dari para pendidik muncul.
I.
Pengaruh
Konstruktivisme Terhadap Strategi Pembelajaran
Tugas pendidik
ialah membantu peserta didik agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai
dengan situasinya yang konkret. Selain penguasaan yang luas dan mendalam,
seorang pendidik dituntut untuk menguasai beragam strategi pembelajaran
sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Hal ini
disebabkan karena tidak ada satu strategi pembelajaran yang cocok untuk semua
situasi, waktu, dan tempat. Strategi yang disusun pendidik hanyalah suatu alternatif, bukan menu yang
sudah jadi. Pembelajaran adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan
teknik, melainkan juga intuisi dari setiap pendidik.
Ciri Pembelajaran Konstruktivisme:
1.
Orientasi : Peserta didik diberi kesempatan untuk
mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik, dan untuk mengadakan
observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2. Elisitasi : Peserta didik dibantu untuk
mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat
poster,dll. Peserta didik mendiskusikan apa yang diobservasinya dalam wujud
tulisan, gambar ataupun poster.
3.
Restrukturisasi ide
-
Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide orang lain
-
Membangun ide yang baru
-
Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen
4.
Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau
pengetahuan yang telah dibentuk oleh peserta didik perlu diaplikasikan pada
bermacam-macam situasi yang dihadapi, sehingga menjadi lebih lengkap dan lebih
rinci.
5.
Review bagaimana ide berubah. Dapat terjadi bahwa dalam
mengaplikasikan pengetahuannya, seseorang perlu merevisi gagasannya agar
menjadi lebih lengkap.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam konstruktivisme ialah mengevaluasi hasil belajar peserta
didik. Dalam mengevaluasi, pendidik sebenarnya menunjukkan kepada peserta didik
bahwa pikiran/ pendapat mereka tidak
sesuai untuk persoalan yang dihadapi berdasarkan prinsip atau teori tertentu. Kebenaran
bukanlah hal yang dicari, namun berhasilnya suatu proses (viable) adalah
hal yang dinilai.
Dalam mengevaluasi perlu dilihat tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai, misalnya peserta didik dapat mengembangkan kemampuan
berpikirnya, atau sekedar dapat menangani prosedur standar dan memberikan
sumber jawaban standar yang terbatas. Proses evaluasi berbeda berdasarkan
tujuan belajarnya, namun dalam konstruktivisme berfokus pada pendekatan peserta
didik terhadap persoalan yang dihadapi, bukan jawaban akhir yang diberikannya.
Proses evaluasi
dalam pembelajaran konstruktivisme tidak
tergantung pada bentuk asesmen yang menggunakan paper and pencil test atau bentuk tes objektif. Bentuk
asesmen yang digunakan disebut altenative
assessment, seperti portfolio, observasi proses, dinamika kelompok, studi
kasus, simulasi dan permainan, performance
appraisal, dll. Dengan kondisi di negara kita, terlebih system Ujian
Nasional, sepertinya penilaian konstruktivisme akan sulit diterapkan, kecuali
untuk penilaian yang sifatnya harian. Sedangkan untuk penilaian akhir, terlebih
untuk menentukan nasib lulus tidaknya seorang siswa, nampaknya penilaian
konstruktivisme tidak akan berlaku.
Perbedaan situasi pembelajaran di kelas
berasarkan konstruktivisme dan secara tradisional
Tradisional
|
Konstruktivisme
|
1. Ruang lingkup terpisah
2. Kurikulum secara tuntas
3. Berdasar buku teks
- Peserta didik
sebagai ember yang akan diisi
- Pendidik
mengajar dan sebagai Penyebar
informasi
7.
Mencari
jawaban yang benar
8.
Penilaian
terpisah dari proses belajar.
9.
Peserta
didik bekerja sendiri
|
1. Utuh
ada keterkaitan
2. Lebih penting pertanyaan peserta didik dan
konstruksi jawaban.
3. Beragam sumber.
4. Peserta didik sebagai pemikir.
5. Pendidik
interaktif, mediator dan
fasilitator.
6. Pendidik mengikuti pola pikir peserta
didik.
7. Penilaian integral mengenai hasil kerja
peserta didik
8. Lebih banyak belajar berkelompok
|
J.
Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan
penulisan makalah ini, dapat dituliskan beberapa simpulan yaitu:
1.
Penerapan model belajar konstruktivisme dalam
pembelajaran berimplikasi terhadap Orientasi Pembelajaran. Pembelajaran dengan
model belajar konstruktivisme tidak berorientasi pada produk tetapi
berorientasi pada proses. Pembelajaran tidak dirasakan sebagai suatu proses
pembebanan yang semata-mata berorientasi pada kemampuan peserta didik dalam
merefleksikan apa yang dikerjakan atau diinformasikan pendidik. Penekanan
pembelajaran terletak pada kemampuan peserta didik untuk mengemukakan argumentasi dan
mengorganisasi pengalaman, dalam hal ini akan dapat mengungkapkan miskonsepsi peserta didik dan
memperbaharuinya.
2.
Penerapan model belajar konstruktivisme dalam pembelajaran
menuntut perubahan peran pendidik khususnya dalam cara pandang terhadap peserta
didik. Model belajar konstruktivisme sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang
ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu
realita. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivismeme adalah pergeseran
peserta didik sebagai penerima pasif informasi. Para pendidik disarankan untuk
menggunakan model belajar konstruktivisme sebagai menjadi pengkonstruksi aktif dalam
proses pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
B. Saran
1.
Model belajar konstruktivisme telah mampu mengubah
miskonsepsi peserta didik menjadi konsep ilmiah. Pembelajaran bukan lagi
didikte, melainkan distimulasi.
2.
Pembelajaran sangat sarat dengan konsep-konsep yang
membutuhkan penalaran tinggi. Agar hasil belajar yang dicapai lebih optimum maka
para pendidik sebaiknya selalu memperhatikan penalaran formal yang telah
dimiliki peserta didik. Sehingga strategi pengubah miskonsepsi dapat ditentukan
dengan tepat. Telah terbukti bahwa kualitas miskonsepsi yang dimiliki peserta
didik sangat tergantung pada penalaran formal peserta didik. Untuk hal ini, maka
mutlak kompetensi pendidik harus senantiasa diperbarui.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman.
2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Chatib, Munif. Penyunting Budhyastuti R.H. Cetakan
VIII, 2010. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelegences di
Indonesia. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Donald R. Cruickshank, et.al. (2006). The Act of Teaching,
Fourth Edition. New York: McGraw-Hill
Muijs, Daniel, dan Reynolds David. (2008). Effective
Teaching, Teori dan Praktek (terjemahan).
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.
Salim, Agus. Eds. Edisi II Cetakan ke 1. 2007. Indonesia
Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Unnes dan Penerbit Tiara Wacana.
Sadia,
dkk. (1996). Pengaruh Prior Knowledge dan Strategi Conseptual Change. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivismememe dalam
Pendidikan. Yogyakarta:
Penerbit Kaniius.